Senin, 24 November 2014

Goresan Tinta

Goresan Tinta


Kala cahaya menembus embun
sahutan ayam bertalu-talu
selepas sujud membuka buku
tanpa ragu kau menebar ilmu

tinta kecil terselip dalam kantung
setumpuk lembaran kanan-kiri dalam genggaman
langkah pasti tanpa ragu
siap mengores titik yang membatu
lelahmu tak kan terbayar
meski ku ajak kau berlayar
jasamu tak kan terlupa
meski hayati ku binasa

Terimaksih Guruku


Didit Maulana

Minggu, 23 November 2014

Makalah Penyuntingan

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyuntingan adalah salah satu ilmu dalam dunia kebahasaan dan media cetak. Ketika sesorang ingin menerbitkan tulisannya kedalam media cetak, haruslah melalui penyuntingan terlebih dahulu, agar tulisan yang di muat sesuai dengan Ejaan yang di sempurnakan. Namun, tidak semua orang bisa menyunting tulisan, karena untuk menjadi seorang penyunting tidaklah mudah.
Menjadi seorang penyunting naskah ada beberapa persyaratan yang harus dia penuhi. Persyaratan itu meliputi penguasaan ejaan bahasa Indonesia, penguasaan tata bahasa Indonesia, ketelitian dan kesabaran, kemampuan menulis, keluwesan, penguasaan salah satu bidang keilmuan, pengetahuan yang luas, dan kepekaan bahasa.
Untuk lebih jelasnya kami akan membahas persyaratan di atas dalam makalah ini, agar kelak nanti kita semua mampu untuk menjadi penyunting naskah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Syarat-syarat Penyuntingan Naskah
a. Menguasai Ejaan
b. Menguasai Tata Bahasa
c. Bersahabat dengan Kamus
d. Memiliki Kepekaan Bahasa
e. Memiliki Pengetahuan Luas
f. Memiliki Ketelitian dan Kesabaran
g. Memiliki Kepekaan terhadap SARA dan Pornografi
h. Memiliki Keluwesan
i. Memiliki Kemampuan Menulis
j. Menguasai Bidang Tertentu
k. Menguasai Bahasa Asing
l. Memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah
C. TUJUAN
1. Mengetahui dan Mengerti Syarat-syarat Penyuntingan naskah




BAB II
PEMBAHASAN
A. SYARAT – SYARAT PENYUNTINGAN NASKAH
1. Menguasai Ejaan
Seseorang yang ingin menjadi penyunting naskah pada satu penerbitan, harus menguasai kaidah ejaan bahasa Indonesia yang baku saat ini. Dia harus paham benar penggunaan huruf kecil dan huruf kapital, pemenggalan kata, dan penggunaan tanda-tanda baca (titik, koma, dan lain-lain).
Syarat ini tentu dapat dimaklumi, mengingat penyuntingan naskah selalu berurusan dengan soal-soal itu. Bagaimana mungkin seorang penyunting naskah dapat membetulkan atau memperbaiki ejaan naskah orang lain, kalau si penyunting naskah tidak paham seluk-beluk ejaan bahasa Indonesia?
2. Menguasai Tata Bahasa
Seperti halnya ejaan, seorang penyunting naskah pun dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dalam arti luas. Bukan berarti dia perlu menghafal semua arti kata yang terdapat dalam kamus, misalnya. Akan tetapi, seorang penyunting naskah harus tahu mana kalimat yang baik dan benar, dan mana kalimat yang salah dan tidak benar.
Menguasai bahasa Indonesia tentu tidak lain dan tidak bukan adalah menguasai tata bahasa Indonesia. Jadi, seorang penyunting naskah harus mengerti susunan kalimat bahasa Indonesia yang baik, kata-kata yang baku, bentuk-bentuk yang salah kaprah, pilihan kata yang pas, dan sebagainya.
Seperti halnya ejaan, kita pun bisa bertanya: bagaimana mungkin seorang penyunting naskah memperbaiki atau membetulkan kalimat orang lain, kalau si penyunting naskah sendiri tidak tahu syarat-syarat kalimat yang baik dan benar?
3. Bersahabat dengan Kamus
Seorang penyunting naskah atau ahli bahasa sekalipun, tidak mungkin menguasai semua kata yang ada dalam satu bahasa tertentu. Belum lagi kalau kita berbicara mengenai bahasa asing. Oleh karena itu, seorang penyunting naskah perlu akrab dengan kamus. Entah itu kamus satu bahasa maupun kamus dua bahasa. Dalam hal ini, tentu termasuk pula kamus istilah, leksikon, dan ensiklopedia.
Dengan kata lain, seorang yang enggan atau malas membuka kamus, sebetulnya tidak cocok menjadi penyunting naskah. Mengapa? Karena seorang penyunting naskah tidak pernah bisa lepas dari segala macam kamus, termasuk leksikon dan ensiklopedia.
4. Memiliki Kepekaan Bahasa
Karena selalu berhubungan dengan ejaan, tata bahasa, dan kamus, seorang penyunting naskah pun dituntut untuk memiliki kepekaan bahasa. Dia harus tahu mana kalimat yang kasar dan kalimat yang halus; harus tahu mana kata yang perlu dihindari dan mana kata yang sebaiknya dipakai; harus tahu kapan kalimat atau kata tertentu digunakan atau dihindari.
Untuk semua itu, seorang penyunting naskah perlu mengikuti tulisan pakar bahasa di media cetak. Di samping itu, seorang penyunting naskah perlu mengikuti kolom bahasa yang ada di sejumlah media cetak. Tentu tidak kurang pentingnya adalah mengikuti perkembangan bahasa Indonesia dari hari ke hari.
5. Memiliki Pengetahuan Luas
Seorang penyunting naskah pun dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas. Artinya, dia harus banyak membaca buku, membaca majalah dan koran, dan menyerap informasi melalui media audio-visual. Dengan demikian, si penyunting naskah tidak ketinggalan informasi.
Dengan kata lain, orang yang malas membaca buku, koran, majalah atau sumber informasi lain, sebetulnya tidak cocok untuk menjadi seorang penyunting naskah. Orang ini lebih baik mencari pekerjaan lain.
6. Memiliki Ketelitian dan Kesabaran
Seorang penyunting naskah dituntut pula untuk bekerja dengan teliti dan sabar. Meskipun sudah capek bekerja, seorang penyunting naskah dituntut untuk tetap teliti dan sabar dalam menyunting naskah. Kalau tidak, penyunting naskah bisa terjebak pada hal-hal yang merugikan penerbit di kemudian hari. Misalnya, karena ada kalimat yang lolos dan lupa disunting.
Jadi, meskipun mengantuk, seorang penyunting naskah harus tetap teliti menyunting setiap kalimat, setiap kata, dan setiap istilah yang digunakan penulis naskah. Dia harus memeriksa apakah kalimat, kata, dan istilah itu layak cetak atau tidak, berbau SARA atau tidak, berbau pornografi atau tidak, dan sebagainya.

Seorang penyunting naskah harus sabar menghadapi setiap naskah. Kala tidak, orang itu tidak cocok menjadi penyunting naskah. Mengapa? Karena seorang penyunting naskah harus bolak-balik memeriksa naskah. Malahan, sesudah menjadi "proof" (cetakan percobaan) pun, seorang penyunting naskah masih berurusan dengan kalimat-kalimat dan kata-kata. Penyunting naskah baru bisa lepas dari kalimat-kalimat dan kata-kata kalau "proof" itu sudah "fiat cetak" (disetujui untuk dicetak).
7. Memiliki Kepekaan terhadap SARA dan Pornografi
Seorang penyunting naskah tentu harus tahu kalimat yang layak cetak, kalimat yang perlu diubah konstruksinya, dan kata yang perlu diganti dengan kata lain. Dalam hal ini, seorang penyunting naskah harus peka terhadap hal-hal yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Kalau tidak peka, penerbit bisa rugi di kemudian hari. Mengapa? Karena buku yang diterbitkan bisa dilarang beredar oleh pihak yang berwenang, atau penerbitnya dituntut oleh pihak tertentu ke pengadilan.
Di samping itu, seorang penyunting naskah pun harus peka terhadap hal-hal yang berbau pornografi. Dalam hal ini, seorang penyunting naskah harus mempertimbangkan apakah kalimat tertentu layak cetak atau tidak, dan apakah gambar/ilustrasi tertentu layak siar atau tidak. Seperti halnya persoalan SARA, hal-hal yang berbau pornografi pun dapat mengakibatkan sebuah buku dilarang beredar. Jika ini terjadi, tentu penerbit akan mengalami kerugian. Kejaksaan Agung RI memunyai kriteria buku yang dilarang beredar di Indonesia dari dulu hingga sekarang.
8. Memiliki Keluwesan
Seorang penyunting naskah haruslah dapat bersikap dan berlaku luwes (supel). Hal ini penting karena seorang penyunting naskah sering berhubungan dengan orang lain. Minimal, seorang penyunting naskah berhubungan dengan penulis/pengarang naskah. Dalam berhubungan dengan pihak luar, seorang penyunting naskah bertindak sebagai duta atau wakil penerbit. Oleh karena itu, penyunting naskah harus menjaga citra dan nama baik penerbit.
Dalam berhubungan dengan penulis naskah, penyunting naskah tentu harus bersedia mendengarkan berbagai pertanyaan, saran, dan keluhan. Dalam hal ini, sebaiknya penyunting naskah tidak menggurui. Apalagi kalau penulisnya seorang pakar atau berkedudukan tinggi. Dengan kata lain, seorang yang kaku tidaklah cocok menjadi penyunting naskah.

9. Memiliki Kemampuan Menulis
Seorang penyunting naskah juga perlu memiliki kemampuan menulis, minimal mampu menyusun tulisan yang elementer. Mengapa? Karena dalam pekerjaannya sehari-hari, seorang penyunting naskah pada suatu saat harus menulis surat kepada penulis atau calon penulis naskah, menulis ringkasan isi buku (sinopsis), atau menulis biografi singkat (biodata) penulis.
Lagi pula, kemampuan menulis ini pun berguna dalam penyuntingan naskah. Kalau tidak tahu menulis kalimat yang benar, tentu kita pun akan sulit membetulkan atau memperbaiki kalimat orang lain.
10. Menguasai Bidang Tertentu
Alangkah baiknya kalau seorang penyunting naskah menguasai salah satu bidang keilmuan tertentu. Misalnya, ilmu bahasa, ilmu sastra, biologi, matematika, geologi, jurnalistik, ilmu pendidikan, filsafat, teknologi, dan pertanian. Hal ini tentu akan membantu penyunting naskah dalam tugasnya sehari-hari.
11. Menguasai Bahasa Asing
Seorang penyunting naskah pun perlu menguasai bahasa asing yang paling banyak digunakan di dunia internasional, yakni bahasa Inggris. Mengapa? Karena dalam menyunting naskah, seorang penyunting naskah akan berhadapan dengan istilah-istilah bahasa Inggris atau istilah-istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Di samping itu, perlu pula diketahui bahwa buku terjemahan yang paling banyak diterjemahkan di Indonesia adalah buku-buku yang berasal dari bahasa Inggris.
Jika tidak dapat menguasai bahasa Inggris secara aktif, minimal penyunting naskah menguasainya secara pasif. Artinya, penyunting naskah dapat memahami dan membaca teks bahasa Inggris. Akan lebih baik lagi jika penyunting naskah bukan hanya menguasai bahasa Inggris, melainkan juga menguasai salah satu bahasa atau beberapa bahasa asing lain. Misalnya, bahasa Latin, bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis, bahasa Arab, dan bahasa Jepang.
Pendek kata, makin banyak bahasa asing yang dikuasai penyunting naskah makin baik. Semua bahasa asing itu akan melancarkan pekerjaan si penyunting naskah.



12. Memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah
Seorang penyunting naskah perlu menguasai dan memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah. Dengan kata lain, penyunting naskah harus tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam penyuntingan naskah.
Jika penyunting naskah tidak memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah, ada kemungkinan dia akan salah langkah atau salah sunting. Hal ini bisa berakibat buruk di kemudian hari.



BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menjadi seoarng penyunting tidaklah mudah, kita harus memenuhi persyaratan-persyaratannya terlebih dahulu. Persyaratan itu meliputi penguasaan ejaan bahasa Indonesia, penguasaan tata bahasa Indonesia, ketelitian dan kesabaran, kemampuan menulis, keluwesan, penguasaan salah satu bidang keilmuan, pengetahuan yang luas, dan kepekaan bahasa. Jika belum dapat memenuhi persyaratan tersebut kita harus lebih banyak belajar kembali, demi menjadi seorang penyunting naskah yang handal.
B. SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun bagi para pembacanya seabgai kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bisa menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-makalah selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus buat kami. Amin.




DAFTAR PUSTAKA
Eneste, Pamusuk; (2005). Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Laporan Hasil Wawancara

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa alay adalah bahasa yang berkembang di masyarakat tanpa adanya aturan yang tetap terutama di lingkungan sekolah dan kalangan remaja. Sehingga penggunaan bahasa Indonesia yang baku jarang dipergunakan oleh para pelajar pada era sekarang.
B. Maksud dan Tujuan
Laporan ini dimaksudkan sebagai pengganti UTS pada mata kuliah Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia yang dibimbing oleh Bapak Dema Tesniyadi,M.Pd. dan bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dan yang paling utama untuk penilaian UTS.
C. Topik Wawancara
“Efek bahasa alay terhadap penggunaan bahasa baku di sekolah”
D. Waktu dan Tempat Kegiatan
Acara ini dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Senin 17 November 2014
Waktu : Pukul 10.00 WIB s.d Selesai
Tempat : Ruang Guru SMA IMTEK Pagedangan
E. Manfaat Penulisan
1. Tugas kuliah terpenuhi
2. Mengetahui tentang bahasa Alay dari seorang pendidik
3. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan









BAB II
LAPORAN HASIL WAWANCARA
A. Biodata Narasumber
Biodata Narasumber
Nama : Permadi Hendra Lesmana, S.Pd
TTL : Ciamis, 19 Maret 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Pendidik (guru)
Pendidikan Terakhir : S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Proram Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra (PBSI)
Tempat Mengajar : SMA IMTEK Pagedangan
Bidang Study : Bahasa Indonesia
Kelas : XI dan XII

B. Pertanyaan dan Jawaban
Menurut bapak Bahasa Alay itu apa?
Jawaban : “Bahasa alay adalah bahasa yang di kelompokan kedalam bahasa slank, yang tidak akan terlalu mempengaruhi bahasa Indonesia, yang berkembang sesuai masanya. Bahasa alay yang sedang buming sekarang, akan mengikis dengan sendirinya dan berganti dengan bahasa alay lainnya, ini hanya rutinitas bahasa negatif yang selalu ada dan tidak perlu dilebih-lebihkan”.

Apakah Bahasa Alay akan merusak Bahasa Indonesia?
Jawaban : “Sebenarnya bahasa alay ini jika kita sikapi biasa saja, itu tidak akan berpengaruh. Tetapi bukan berarti kita juga membiarkannya, soalnya bahasa alay ini, jika kita tekan maka akan semakin menjadi dan bertambah banyak. Makannya bahasa alay ini masuk kedalam bahasa Slank yang tidak aturan dan hanya dimengerti oleh sebagian kelompok saja. Bahasa Indonesia akan tetap akan tetapi yang menjadi penyakitnya mereka akan lebih senang dan menggunakan bahasa alay”.



Menurut bapak, apa penyebab timbulnya Bahasa Alay di Sekolah?
Jawaban : “Yang mempengaruhi timbulnya bahasa alay yaitu faktor usia dan lingkungan. Pertama dari faktor usia itu sangat mempengaruhi, biasanya bahasa alay itu berisi dengan kode-kode yang hanya dimengerti oleh teman sebayanya saja. Kedua faktor lingkungan, dimana mereka sudah mempunyai bekal dari lingkungannya masing-masing dan dibawalah ke lingkungan sekolah”.
Siapakah yang memperkenalkan Bahasa Alay kepada para siswa di Sekolah?
Jawaban : “Sebetulnya bahasa alay itu diperkenalkan oleh tayangan di televisi dan para aktris-akris dalam berbicara. Pada masa inilah para siswa lebih bersifat mengikuti (Follower) dan mereka pakai dalam berkomunikasi dengan teman-temannya”.
Kapan sajakah para siswa menggunakan Bahasa Alay di Sekolah?
Jawaban : “Biasanya ketiaka saya perhatikan siswa-siswa di sekolah ini, bahasa alay mereka gunakan ketika mereka bercanda, berkomunikasi sesama temannya dan dalam kegiatan-kegiatan ekstra kulikuler”.
Kenapa para siswa lebih senang menggunakan Bahasa Alay?
Jawaban : “Bahasa alay ini seperti fasion, yang selalu berkembang dan berubah-ubah. Dan mereka anggap keren dan gaul dalam penggunaanya. Ketika mereka suka maka akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari”.
Apa akibatnya jika Bahasa Alay di biarkan berkembang di Sekolah?
Jawaban : “Akibat dari penggunaaan bahasa alay di sekolah. Bahasa Alay itu berisi kode-kode, jadi kita selaku guru dan orangtua haruslah selalu ikut update juga, supaya kita juga mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, apakah baik atau tidak. Jika dibiarkan saja, bahasa Indonesia lambat laun akan terkikis dan tidak terbiasa terdengar di telinga para peserta didik”.
Bagaimana cara menghilangkan Bahasa Alay di Sekolah?
Jawaban : “Yang paling simple kita tidak mengapresasi bahasa mereka dan membiasakan berbahasa Indonesia yang baik. Mengarahkan mereka bahwa bahasa itu kurang baik”.







Salah satu langkah atau usaha yang sudah bapak lakukan di kelas maupun lingkungan sekolah untuk mrnghilangkan Bahasa Alay?
Jawaban : “Saya memberikan referensi lain dari kata-kata itu, seperti kata “Woles” berarti “Santai”. Sudahlah jangan gunakan bahasa “Woles” kita gunakan bahasa yang baik. Tetapi jangan ditekankan kita harus pelan-pelan karena semakin ditekan mereka semakin mencari bahasa-bahasa yang lain”.
Kesulitan yang bapak hadapi dalam mengubah Bahasa Alay di sekolah apa saja?
Jawaban : “Kesulitannya karena kita tidak selalu bersama dengan mereka. Mereka lebih banyak bersama dengan teman-temannya itulah kesulitannya”.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan wawancara di atas dapat penulis simpulkan bahwa efek bahasa alay terhadap penggunaan bahasa baku disekolah sangatlah berbahaya. Karena dengan berkembang pesatnya bahasa alay di sekolah para peserta didik lebih senang mengunakannya dibanding bahasa baku.
B. Saran
Demikianlah Laporan wawancara dengan tema “Efek Bahasa Alay terhadap penggunaan Bahasa Baku di Sekolah” ini penulis susun, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan. Dalam penulisan ini, Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca, untuk kesempurnaan makalah ini. Dan semoga Laporan ini bisa menjadi acuan untuk meningkatkan Laporan-laporan selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis. Amin



Ibuku Sayang

Ibuku sayang (Karya : Didit Maulana)
Ibu…
Dengarkanlah rintihan hatiku
Saat menjelma orang dewasa

Ibu…
Kini aku dapat bicara sendiri
Berdiri sendiri dan berlari mengejar mimpi…

Ibu…
Dimalam ini
Ku serahkan semua asa dan ragaku
Memohon ampunan dosa dari hatimu

Ibu …
Aku mohon ampun kepadamu
Aku telah mengabaikan jasa-jasamu
Sembilan bulan kau mengandungku
Menanti-nanti kelahiranku

Ibu…
Saat aku terlahir
Kau tersenyum simpuh menyambutku
Menyentuhku dengan belaian kasih sayang
Mengecup keningku, menimang-nimang ragaku yang mungil

Ibu…
Tanpa merasa letih kau menjagaku
Memberi asih akan diriku
Mengajariku kehidupan nyata

Ibu…
Kini aku dewasa dengan ajaranmu
Tapi lupa semua jasamu
Merasa hebat tak mendengar nasihatmu

Ibu…
Saat ku terjatuh kau selalu ada disampingku
Menjagaku tanpa terbesit lelah dalam hatimu

Ibu…
Kini aku akan pergi
Mengapai semua cita-citaku
Berharap bisa membahagiakanmu

Oh… ibu…
Aku mohon janganlah kau menangis, aku selalu ada untukmu

Ibu…
Tanpa ku meminta, tanpa ku berteriak , tanpa ku bersujud, tanpa ku memohon
Do’a mu selalu menyertaiku.

Aku sayang padamu Ibu.

Lengkong kulon, 5 Juni 2014