Sabtu, 26 Desember 2015

Puisi Surat Untuk Presiden

Surat untuk Presiden

Kepada Bapak yang aku hormati
Lihatlah kami di sini dengan hati
Kami yang tersesak karena asap
Asap kabut, ulah oknum tak tak berhati.

Lihatlah bapak….
Kami tersiksa tak berarti di sini.
Di tanah lahir kami sendiri
Kami sedari ini bukti, bapak tak peduli.

Sebulan lalu kami tersorot oleh api
Sebulan lalu kami selalu masuk televisi
Tapi bukan karena prestasi,
Melainkan berita hangat yang cocok dibincangi.

Mata kami terbatas dalam memandang
Nafas kami terbatas menghirup udara segar
Bayi kami menjadi korban ganasnya asap hutan
Hutan yang terbakar karena serakahnya monyet berdasi.

Oh… sang penguasa yang duduk di singga sana
Meski kasus hutan tak lagi hangat
Karena hujan telah mengguyur berita
Sudahkah kau selesaikan kasus asap kami.




Kepada bapak yang berdasi di sana
Rasakanlah hujan yang turun hari ini,
Airnya begitu deras mengucur deras ke Bumi pertiwi
Begitulah tangis kami sampai saat ini.

Kami ingin kau genggam tangan ini pak….
Kami  ingin kau peluk raga ini pak…
Karena pada siapa lagi kami mengadu
Hanya bapak yang patut kami segani.

Walau raga ini tak sehat dulu
Raga ini rapuh karena asap hutan terbakar
Tapi hati kami selalu yakin padamu pak
Bapak bisa selesaikan kasus merebah ini.

Kepada Bapak Presiden yang kami cintai
Tegaslah kau di sana dalam bertindak
Tegaslah kau dalam berhukum
Hukumlah manusia bersalah dengan tegas dan berkelas

Bapakku….
Butakanlah dirimu kepada uang haram
Uang suap hukum karena tak mau dihukum
Yang sekarang sudah biasa dikalangan para pejabat hukum






Bapak Presidenku
Berlakulah adil kepada kami kau kusam yang kecil
Yang jarang dilirik para monyet berdasi
Yang terbuang tak ternilai di mata hati.

Kini, kami ada untuk bicara
Sekadar bicara berharap sampai kepada telinga bapak
Bicara tentang rasa yang tertekan dalam hati
Karena menuntut keadilan dari monyet-monyet berdasi.

Bapak hampirilah kami
Ulurkan tangan kasihmu pada kami
Sampai hati ini terpeluk oleh tutur mu
Sampai kami tersimpuh di pangkuanmu

Kami bukan sekadar bicara
Kami bukan sekadar bersandiwara
Kami bukan meminta-minta
Tapi, kami di sini menuntut hak pada seorang Bapak

Oh…
Bapakku yang tertinggi di nusa dan bangsa
Bukalah mata hati dan ulurkan tanganmu
Kami di sini menunggu mu
Bapak Presidenku
Salam Indonesia tanpa asap.

Lengkong Kulon, 8 Desember 2015
Didit Maualana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar